
Diabetes Tipe 2
Kesehatan – Di tengah tuntutan karier yang kian kompetitif, kerja lembur seringkali dianggap sebagai tanda dedikasi dan profesionalitas. Fenomena “kerja lembur bagai kuda” ini memang identik dengan citra pekerja keras yang gigih mengejar kesuksesan.
Namun, di balik gemilangnya karier yang mungkin diraih, kebiasaan lembur secara konsisten menyimpan ancaman serius bagi kesehatan, baik fisik maupun mental, dalam jangka panjang.
Sebuah penelitian penting yang dimuat di American Journal of Industrial Medicine telah mengungkap korelasi yang mengkhawatirkan antara jam kerja yang melampaui batas dan risiko penyakit jantung.
Studi ini secara jelas menunjukkan bahwa individu yang bekerja 61-70 jam per pekan menghadapi peningkatan risiko penyakit jantung koroner sebesar 42 persen.
Angka ini melonjak drastis hingga 63 persen bagi mereka yang menghabiskan 71-80 jam seminggu di tempat kerja.
Tak hanya jantung, otak pun turut menjadi korban. The Lancet, jurnal medis terkemuka, mempublikasikan studi lain yang mengindikasikan bahwa orang-orang dengan jam kerja “ekstra panjang” memiliki risiko stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bekerja sesuai jam kerja standar.
Implikasi dari temuan ini sangatlah serius: ambisi karier yang tak terkontrol dapat berujung pada kerusakan organ vital yang tak dapat diperbaiki.
Batasi Kerja Lembur Bagai Kuda
Direktur Kesehatan Terintegrasi dan Kesejahteraan di Mayo Clinic Florida, Adam Perlman, menjelaskan secara gamblang mengapa hal ini terjadi. Ia menekankan bahwa meskipun tubuh dan otak manusia dianugerahi kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dan bertahan dalam berbagai kondisi, keduanya tetap memiliki batas dan sangat membutuhkan perawatan esensial agar dapat berfungsi optimal.
“Saat kita bekerja berlebihan dan gagal memprioritaskan perawatan diri, kita tidak memberi waktu bagi tubuh dan otak untuk beristirahat dan memulihkan diri,” kata Perlman, seperti dilansir dari Medical News Today.
Pernyataan ini menjadi pengingat tegas akan pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kebutuhan biologis dasar untuk istirahat dan pemulihan.
😱 Stres dan Burnout: Silent Killer di Dunia Kerja
Salah satu kekhawatiran terbesar yang muncul dari budaya “kerja lembur bagai kuda” adalah peningkatan tingkat stres yang berujung pada burnout. Pada Mei 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengklasifikasikan burnout sebagai sebuah fenomena pekerjaan.
Kondisi ini didefinisikan sebagai sindrom akibat stres di tempat kerja yang tidak ditangani dengan baik. Tanda-tanda burnout meliputi rasa lelah yang luar biasa dan terus-menerus, sikap negatif atau sinis terhadap pekerjaan, serta penurunan drastis dalam efektivitas profesional.
Peningkatan stres, khususnya stres kronis yang dipicu oleh kerja lembur bagai kuda, telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan serius, mulai dari depresi, diabetes, tekanan darah tinggi, hingga gangguan pencernaan.
Pekerja sosial klinis, Iris Waichler, menjelaskan bahwa stres tambahan dari bekerja berlebihan dapat meningkatkan produksi hormon kortisol, yang jika berlebihan dapat merusak tubuh.
Elizabeth Roddick, seorang apoteker berbasis di Inggris dan penasihat kesehatan untuk wanita di atas 50 tahun, menambahkan bahwa stres jangka panjang memicu mekanisme fight or flight untuk terus aktif.
Mekanisme ini, yang sejatinya berguna dalam situasi berbahaya (misalnya, saat harus menghindar dari mobil yang melaju dan memicu lonjakan adrenalin yang memacu otot, jantung, dan kewaspadaan visual), justru menjadi bumerang ketika terus-menerus terstimulasi oleh stres pekerjaan.
Selain masalah yang disebutkan di atas, overworking atau “kerja lembur bagai kuda” juga telah dikaitkan dengan kondisi berbahaya lainnya, seperti penyakit serebrovaskular, diabetes tipe 2, dan berbagai penyakit kronis lainnya.
Daftar ini mencakup penyakit jantung (selain yang disebutkan sebelumnya), beberapa jenis kanker, radang sendi, penyakit paru-paru kronis, dan hipertensi. Ini menunjukkan betapa luasnya dampak negatif dari kebiasaan lembur yang tak terkendali terhadap kesehatan secara keseluruhan.
Melihat daftar risiko kesehatan yang mengintai, sudah saatnya kita merefleksikan kembali makna profesionalitas. Apakah benar profesionalitas harus dibayar mahal dengan mengorbankan kesehatan?
Mengurangi kebiasaan kerja lembur bagai kuda bukan hanya tentang menjaga keseimbangan hidup, tetapi juga tentang investasi jangka panjang untuk kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik.(*)