
Kemerdekaan yang Masih Menanti Realisasi
Minggu kemarin, Republik Indonesia genap berusia 80 tahun. Usia yang tak lagi muda jika diibaratkan manusia. Sudah memasuki masa lansia.
Di usia ini, mestinya kita telah matang dalam berpikir, bijak dalam bertindak, dan adil dalam membagi kesejahteraan. Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan itu.
Bagi Aceh, kemerdekaan belum sepenuhnya bermakna merdeka. Memang, kita telah lepas dari penjajahan Belanda. Tapi apakah kita sudah benar-benar bebas dari ketimpangan, dari pengabaian, dari luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh?
Aceh bukan sekadar provinsi di ujung barat Indonesia. Ia adalah tanah yang sejak awal menjadi benteng perlawanan terhadap kolonialisme. Dari Teuku Umar yang gugur di medan perang, Cut Nyak Dhien yang tak pernah tunduk, hingga Hasan di Tiro yang menggugat makna keadilan dalam bingkai negara. Aceh telah menorehkan jejak panjang perjuangan, bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk republik yang kini kita rayakan.
Namun, sejarah panjang itu tak selalu berbuah manis. Konflik bersenjata selama puluhan tahun, yang berpuncak pada perjanjian damai Helsinki pada 15 Agustus 2005, menyisakan trauma dan tantangan besar. Aceh memang telah memperoleh status otonomi khusus, tapi apakah itu cukup untuk menjawab kebutuhan rakyatnya?
Kemerdekaan seharusnya berarti bebas dari rasa terpinggirkan. Bebas untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi daerah. Bebas untuk menentukan arah pembangunan yang berpihak pada rakyat. Bagi Aceh, arti kemerdekaan adalah pengakuan atas identitas, sejarah, dan hak untuk hidup sejahtera dalam bingkai NKRI.
Namun, hingga hari ini, kue pembangunan belum terbagi adil. Infrastruktur tertinggal, angka kemiskinan masih tinggi, dan lapangan kerja terbatas. Banyak anak muda Aceh yang harus merantau demi mencari harapan yang tak mereka temukan di tanah kelahiran sendiri. Padahal, Aceh kaya akan sumber daya alam, budaya, dan tentu saja semangat juang.
Kemerdekaan juga berarti bebas dari stigma. Aceh sering kali dipandang sebagai daerah yang “bermasalah”, padahal justru di sanalah kita bisa belajar tentang keteguhan, tentang daya tahan, tentang semangat untuk berdiri di atas kaki sendiri. Aceh bukan beban, melainkan aset bangsa yang belum sepenuhnya diberdayakan.
Kini, di usia ke-80 Republik Indonesia, saatnya kita bertanya: Apakah kemerdekaan sudah benar-benar dirasakan oleh seluruh anak bangsa, termasuk mereka yang tinggal di Serambi Mekkah?
Kemerdekaan bukan hanya soal bendera yang berkibar atau lagu kebangsaan yang dinyanyikan. Ia adalah janji yang harus ditepati. Ada janji keadilan, janji pemerataan, janji penghormatan terhadap hak azasi manusia. Aceh menunggu janji itu ditepati. Bukan dengan retorika, tapi dengan tindakan nyata.
Sudah waktunya pemerintah pusat melihat Aceh bukan sebagai halaman belakang, tetapi sebagai beranda depan bangsa. Sudah waktunya pembangunan tidak hanya berpusat di Jawa, tetapi menjangkau seluruh pelosok negeri, termasuk tanah yang dulu menjadi titik awal perlawanan terhadap penjajahan.
Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap anak Aceh bisa bermimpi dan mewujudkan cita-citanya tanpa harus meninggalkan tanah kelahiran. Ketika perempuan Aceh bisa berdiri tegak seperti Cut Nyak Dhien, dan pemuda Aceh bisa berkontribusi seperti Teuku Umar. Ketika sejarah tidak hanya dikenang, tetapi dijadikan pondasi untuk masa depan yang lebih adil dan bermartabat.
Aceh tidak meminta perlakuan istimewa. Aceh hanya meminta keadilan. Dan dalam ulang tahun ke-80 republik ini, semoga suara dari ujung barat Indonesia ini didengar lebih jernih, lebih dalam, dan lebih tulus. Karena arti kemerdekaan bukan hanya milik mereka yang berada di pusat kekuasaan. Ia adalah hak setiap warga negara, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Perlu Perhatian Lebih Besar untuk Aceh
Banyak aspek yang menunjukkan bahwa Aceh masih mengalami kemunduran. Meskipun usia negeri ini sudah mencapai 80 tahun, banyak masalah yang belum terselesaikan. Mulai dari infrastruktur hingga kesadaran masyarakat tentang pentingnya pembangunan yang merata.
Royalti musik di kondangan rawan premanisme. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak isu yang masih menghiasi kehidupan masyarakat Aceh. Kemerdekaan mungkin baru sebatas lirik, bukan praktik. Ini menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan agar kemerdekaan benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat.
Selain itu, BPN serahkan sertifikat ke eks GAM. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sedang berupaya untuk memberikan kepastian hukum bagi mantan anggota gerakan separatis. Namun, ini hanya satu langkah kecil dalam perjalanan panjang menuju keadilan.
Hanya di momen hari damai saja, ya? Pertanyaan ini mengingatkan kita bahwa keadilan dan perdamaian harus terus dijaga, bukan hanya dalam momen spesial, tetapi dalam setiap hari. Aceh memiliki potensi besar, tetapi butuh dukungan yang lebih kuat dari pemerintah dan masyarakat secara luas.