
Kesehatan – Demam berdarah dengue (DBD) menjadi isu kesehatan yang mendesak di Indonesia, terutama saat musim hujan. Peningkatan kasus DBD ini menarik perhatian Kementerian Kesehatan dan mendorong pencarian solusi pencegahan yang lebih efektif. Salah satu teknologi yang dipromosikan adalah penggunaan nyamuk ber-Wolbachia, yang telah terbukti efektif di berbagai negara di seluruh dunia.
Ahli Entomologi dari IPB University, Upik Kesumawati Hadi, menjelaskan bahwa teknologi nyamuk ber-Wolbachia telah digunakan di beberapa negara seperti Australia, Vietnam, Brazil, Kolombia, Honduras, El Salvador, dan Singapura untuk menurunkan kasus DBD.
Di Indonesia, Yogyakarta menjadi salah satu kota yang telah menerapkan teknologi ini dengan sukses. Menurut Upik, hasilnya menunjukkan penurunan 77 persen kasus DBD dan 86 persen potensi rawat inap pada tahun 2022.
Penerapan Teknologi Nyamuk Ber-Wolbachia di Indonesia
Teknologi ini telah direkomendasikan oleh Vector Control Advisory Group (VCAG) WHO pada tahun 2023 sebagai salah satu metode dalam menangani DBD. Sebagai langkah awal, pemerintah Indonesia telah memilih lima kota sebagai pilot project, yaitu Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, dan Kupang.
Upik menekankan bahwa hasil dari penyebaran nyamuk ber-Wolbachia baru akan terlihat setelah satu sampai dua tahun, karena prosesnya membutuhkan waktu untuk mencapai populasi nyamuk yang sepenuhnya ber-Wolbachia.
Wolbachia adalah bakteri yang dapat memblok replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Ae. aegypti. Proses ini berlangsung ketika wolbachia mengambil sumber makanan yang dibutuhkan oleh virus dengue, sehingga virus tersebut kesulitan berkembang biak. Akibatnya, nyamuk yang terinfeksi wolbachia tidak dapat menularkan virus dengue kepada manusia meskipun menghisap darah dari penderita DBD.
Meskipun teknologi nyamuk ber-Wolbachia menjanjikan hasil yang signifikan, Upik menekankan bahwa upaya pencegahan dan pengendalian DBD tidak hanya bergantung pada teknologi ini. Upaya utama masih berfokus pada menjaga kebersihan diri dan lingkungan untuk menghentikan siklus hidup nyamuk Ae. aegypti.
Pemerintah Indonesia telah mengadakan beberapa program pencegahan DBD, seperti Gerakan 3M plus dan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J). Program 3M plus melibatkan tiga langkah dasar: menguras, menutup, dan mendaur ulang sampah, ditambah dengan upaya perlindungan diri (personal protection) untuk mencegah gigitan nyamuk. Meskipun program ini efektif, murah, dan mudah dilakukan, Upik menyatakan bahwa pelaksanaannya masih kurang maksimal karena kurangnya kesadaran masyarakat.
Peningkatan kasus DBD di Indonesia saat musim hujan menjadi isu yang perlu diatasi. Teknologi nyamuk ber-Wolbachia menawarkan solusi potensial dalam mengurangi penyebaran virus dengue, namun membutuhkan waktu untuk mencapai hasil maksimal. Selain itu, upaya pencegahan dan pengendalian DBD juga harus melibatkan perubahan perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Dengan kombinasi antara teknologi dan upaya masyarakat, diharapkan dapat menurunkan risiko penyebaran DBD di Indonesia.(*)