K3 Diuji, Serikat Pekerja Minta Digitalisasi dan Komite Pengawas

Pentingnya Digitalisasi dalam Proses Sertifikasi K3
Digitalisasi menjadi salah satu langkah penting yang perlu segera diambil oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dalam proses pengajuan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Hal ini muncul setelah ditemukan adanya praktik pemerasan terhadap biaya sertifikasi, yang meningkat hingga 21,8 kali lipat dari harga resmi sebesar Rp 275.000.
Ketua Umum Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, menilai bahwa digitalisasi sangat diperlukan agar transparansi proses pengajuan sertifikasi K3 dapat lebih mudah dipantau oleh publik, termasuk kalangan serikat pekerja. Ia menyatakan bahwa selama ini, para pekerja jarang dilibatkan dalam proses tersebut, sehingga sulit untuk mengetahui apakah sertifikat itu benar-benar diperoleh secara sah atau hanya berupa formalitas belaka.
Mirah mengungkapkan bahwa sejak ia terlibat dalam serikat pekerja pada tahun 1998, keluhan tentang penerapan K3 yang tidak sesuai aturan sering kali diterima. Upaya yang dilakukan oleh serikat pekerja adalah melaporkan masalah tersebut ke dinas tenaga kerja di masing-masing daerah. Namun, sayangnya, laporan-laporan tersebut tidak mendapatkan respons yang memadai.
“Banyak pekerja kita mengalami kecelakaan kerja akibat penerapan K3 yang tidak benar sesuai dengan aturan yang ada,” tambahnya.
Pengamat ketenagakerjaan, Tadjudin Noer, menilai bahwa digitalisasi akan kurang efektif jika tidak diiringi dengan pengawasan yang baik. Untuk itu, ia menyarankan pembentukan komite pengawas K3 yang bersifat independen, bukan hanya berasal dari internal Kemnaker.
“Jika bentuknya komite, maka tidak perlu menunggu revisi UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Jika tim pengawas di luar komite, maka harus ada revisi regulasi, yang membutuhkan waktu cukup lama,” ujarnya.
Komite pengawas tersebut, menurut Tadjudin, sebaiknya terdiri dari berbagai pihak seperti Kemnaker, pekerja, asosiasi pengusaha, masyarakat umum, akademisi, serta pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap K3. Dengan adanya komite ini, diharapkan proses pengawasan bisa lebih objektif dan transparan.
Tadjudin juga menekankan bahwa kasus penyelewengan dalam pengajuan sertifikasi K3 telah terjadi sejak lama. Menurutnya, UU yang mengatur K3 sudah ada sejak tahun 1970, sehingga tidak hanya terjadi sejak 2019 seperti yang disebutkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
K3 sendiri merupakan rangkaian upaya untuk menjamin dan melindungi tenaga kerja dari risiko kecelakaan maupun penyakit akibat kerja. Prinsip utama dari K3 tidak hanya bertujuan untuk menyelamatkan nyawa pekerja, tetapi juga meningkatkan produktivitas dan mengurangi kerugian bagi perusahaan. Oleh karena itu, pentingnya sistem yang jelas dan transparan dalam penerapan K3 perlu terus dijaga dan ditingkatkan.