
Opini – Di tengah derasnya arus media sosial dan budaya modern yang memuja kesuksesan dan keistimewaan, banyak dari kita merasa tertekan untuk selalu tampil luar biasa. Namun, benarkah menjadi “spesial” adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan? Sebuah pandangan menarik dari buku The Subtle Art of Not Giving a Fck* karya Mark Manson mengajak kita untuk melihat sisi lain: menjadi biasa saja ternyata jauh lebih membebaskan dan bermakna.
Kalimat “I am a special one” mungkin sudah tidak asing bagi penggemar sepakbola. Itu adalah ucapan legendaris Jose Mourinho saat pertama kali datang ke Premier League. Mourinho, pelatih asal Portugal, memang pernah mencetak banyak prestasi gemilang, termasuk juara Liga Champions di dua liga berbeda. Namun, perjalanan kariernya juga penuh lika-liku, termasuk beberapa kali pemecatan di klub-klub besar seperti Chelsea, Madrid, dan Manchester United.
Pengalaman Mourinho ini menjadi gambaran nyata bahwa menjadi “spesial” tidak selalu bertahan lama. Seiring waktu, kespesialannya mulai dianggap biasa saja, bahkan oleh para penggemarnya sendiri. Hal ini sejalan dengan penjelasan Mark Manson dalam bukunya yang menyatakan bahwa dorongan untuk menjadi spesial sering kali berasal dari ego yang ingin diakui.
Kenapa Menjadi Biasa Saja Itu Normal dan Sehat
Menurut Mark Manson, mayoritas manusia memang hidup di level rata-rata, dan itu adalah hal yang sangat normal. Media sosial sering menampilkan pencapaian luar biasa sehingga membuat banyak orang merasa gagal jika hanya menjadi “biasa-biasa saja.” Padahal, kebahagiaan sejati justru bisa datang dari menerima diri apa adanya.
Beberapa alasan mengapa menjadi biasa saja lebih baik antara lain:
- Mayoritas Orang Memang Biasa-biasa Saja Secara statistik, kebanyakan orang hidup di level rata-rata. Menjadi biasa adalah hal yang wajar dan tidak perlu dipandang rendah.
- Obsesi Menjadi Luar Biasa Bisa Membuat Tidak Bahagia Pengejaran tanpa henti untuk menjadi sempurna membuat kita sulit merasa cukup dan sering membandingkan diri dengan orang lain yang tampak lebih sukses atau lebih kaya di media sosial.
- Kebermaknaan Muncul Saat Menerima Diri Saat berhenti memaksakan diri menjadi luar biasa, kita bisa lebih jujur pada diri sendiri dan fokus pada hal-hal yang benar-benar kita cintai, bukan sekadar mengikuti standar orang lain.
- Menjadi Biasa saja Itu Otentik Obsesi menjadi hebat sering kali berasal dari rasa tidak cukup berharga dan kebutuhan akan validasi eksternal. Dengan menerima kebiasaan kita, hidup menjadi lebih tenang dan autentik.
- Menyaring Hal Penting dan Membuang yang Tidak Penting Fokus pada satu atau dua hal sederhana tapi bermakna membuat hidup terasa lebih sukses menurut definisi pribadi.
Kutipan yang Menginspirasi
Mark Manson menutup pembahasan ini dengan kalimat yang cukup menggugah: “Ketika kamu berhenti ingin terlihat luar biasa, kamu mulai melakukan hal-hal yang benar-benar luar biasa.”
Kalimat ini mengajak kita untuk melepaskan beban menjadi sempurna dan mulai menjalani hidup dengan cara yang lebih jujur dan bermakna.
Di era di mana kesuksesan dan keistimewaan sering dijadikan tolok ukur nilai diri, penting untuk mengingat bahwa menjadi biasa saja bukanlah kegagalan. Justru, menerima diri apa adanya dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting bisa membawa kebahagiaan dan ketenangan yang selama ini kita cari.
Penulis. :utfiel Hakim – Praktisi Bisnis. (*)